Monday, April 19, 2010

Gedung Tua Saksi Sejarah Jatinegara








Sejarah masa lalu tak pernah bisa dilepaskan dari keberadaan sebuah bangunan, yang tidak hanya berfungsi nilai utilitasnya saja. Tapi, keberadaan bangunan sejak dulu juga dijadikan sebagai penanda kota yang pada akhirnya menjadi ikon yang tak pernah bisa dilepaskan dari keberadaan kota tersebut.

Tak heran, ketika kita menyebut kawasan Kota Tua Jakarta Barat misalnya, maka imajinasi yang terlintas adalah keberadaan Museum Fatahillah. Jika kita menyebut kawasan Pasarbaru Jakarta Pusat, maka yang terlintas adalah megahnya Gedung Kantor Pos Besar atau Museum Fotografi yang dulu dikenal sebagai markas kantor berita Antara.

Begitu juga halnya jika kita menyebut nama kawasan Jatinegara, yang tak pernah bisa dilepaskan dari keberadaan gedung tua bergaya Eropa kuno peninggalan Meester Cornelis. Perjalanan sejarah Jatinegara yang dulu dikenal dengan Meester Cornelis memang tak dapat dipisahkan dari sebuah gedung tua yang berada di ujung Jl Cipinang Raya atau tepat di depan Stasiun Jatinegara, Jakarta Timur. Konon, di gedung megah inilah, dulunya sang Meester pernah tinggal dan menetap. Menariknya, lokasi gedung tua itu awalnya adalah hutan yang dibabat habis oleh Meester Cornelis untuk dijadikan pusat pemerintahan.

Orang-orang tua di Jatinegara, menyebut gedung ini dengan sebutan gedung Ren atau gedung Papak. Tapi sayang, kondisi gedung yang dulu tampak mewah dan megah ini, saat ini tampak begitu tak terawat. Atap-atapnya tampak habis dimakan rayap, bahkan tembok bangunan sudah mulai hitam kusam dimakan waktu.

Bangunan itu kini tampak angker dengan pagar seng di depannya. Memasuki halaman gedung Cornelis, kita akan mendapati tiga bangunan lama yang menjulang tinggi dengan cat yang mulai mengelupas. Arsitektur Eropa kuno dapat dilihat dari tiang penyangga bangunan yang besar dan daun pintu yang tinggi.

Gedung Cornelis memiliki beberapa bangunan di sekitarnya. Tiga gedung berada di depan dan gedung-gedung lain yang lebih mirip komplek kecil berada di belakang gedung ini. Jika dilihat secara seksama, gedung Cornelis ini lebih seperti kantor pemerintahan dengan kompleks kecil yang berada di belakangnya.

Dari sumber yang dihimpun beritajakarta.com, dimulainya pembangunan pertama gedung ini pada tahun 1635, saat Cornelis Senen membuka atau membabat hutan di kawasan Jatinegara. Maka dimulailah aktivitasnya sebagai guru sekaligus Kepala Kampung Banda di Batavia. Dari aktivitasnya inilah Cornelis Senen mendapat julukan Meester.

Tanah luas milik Meester inilah yang kemudian terkenal sebagai kawasan Meester Cornelis. Belanda pun mengakui hal itu, maka pada tahun 1661, pemerintah Belanda memberikan status otonom dengan sebutan daerah kotapraja, Meester Cornelis. Hingga nama ini berganti Jatinegara saat Jepang menggantikan pemerintahan Belanda di Indonesia sejak tahun 1942.

Supriono, penjaga gedung Rabu (6/1) mengatakan, gedung asli yang dibangun oleh Cornelis Senen berjumlah 3 buah dengan tambahan 1 gedung kecil yang berada di ujung belakang sebelah kanan. Menurutnya, gedung tengah merupakan gedung utama tempat beristirahat Cornelis, dua gedung lain sebelah kiri dan kanan merupakan gedung penjagaan atau rumah centeng.

Saat pemerintahan Jepang di Indonesia, lanjut Supriono, gedung Cornelis digunakan sebagai markas tentara Jepang di Jatinegara. Setelah kemerdekaan, gedung Cornelis digunakan sebagai gedung Korem, dan beralih fungsi lagi menjadi gedung Kodim 0505. Saat masih berfungsi sebagai Kodim, maka dibangun rumah dinas dengan tambahan dua bangunan memanjang, serta bangunan masjid di belakang. Terlepas dari kondisnya sekarang, di situlah sejarah Jatinegara bertutur dengan segala haru birunya.



Jaringan Ulama Betawi

GURU MARZUKI DAN SYEKH ALI AL-MALIKI
(Upaya Melacak Jaringan Ulama KH. Noer Alie )

K.H. AHMAD MARZUKI AL-BETAWI
(1293 – 1353 H/1876 – 1934 M)

Nama lengkap beliau adalah “Ahmad Marzuki bin Syekh Ahmad al-Mirshad bin Khatib Sa’ad bin Abdul Rahman al-Batawi”. Ulama terkemuka asal Betawi yang bermazhab Syafi’i dan populer dengan sebutan Guru Marzuki ini lahir dan besar di Batavia (Betawi). Ayahnya, Syekh Ahmad al-Mirshad, merupakan keturunan keempat dari kesultanan Melayu Patani di Thailand Selatan yang berhijrah ke Batavia. Guru Marzuki dilahirkan pada bulan Ramadhan tahun 1293 H/1876 M di Meester Cornelis, Batavia.
Masa Pertumbuhan dan Menuntut Ilmu
Pada saat berusia 9 tahun, Guru Marzuki ditinggal wafat ayahnya. Pengasuhannya pun beralih ke tangan ibunya yang dengan penuh kasih sayang membina sang putra dengan baik. Pada usia 12 tahun, Marzuki dikirim oleh sang ibu kepada seorang ahli fikih bernama Haji Anwar untuk memperdalam Al-Qur’ân dan ilmu-ilmu dasar bahasa Arab. Guru Marzuki kemudian melanjutkan pelajarannya mengaji kitab-kitab klasik (turats) dibawah bimbingan seorang ulama Betawi, Sayyid Usman bin Muhammad Banahsan. Melihat ketekunan dan kecerdasan Marzuki-muda, sang guru pun merekomendasikannya untuk berangkat ke Mekah al-Mukarramah guna menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu. Guru Marzuki yang saat itu berusia 16 tahun pun kemudian bermukim di Mekah selama 7 tahun.
Guru-guru di Haramain
Selama tidak kurang dari 7 tahun, hari-harinya di Tanah Suci dipergunakan Guru Marzuki dengan baik untuk beribadah dan menimba ilmu dari para ulama terkemuka di Haramain. Ulama Haramain yang sempat membimbing Guru Marzuki, antara lain: Syekh Muhammad Amin bin Ahmad Radhwan al-Madani (w. 1329 H.), Syekh Umar Bajunaid al-Hadhrami (w. 1354 H.), Syekh Abdul karim al-Daghistani, Syekh Mukhtar bin Atharid al-Bogori (w. 1349 H), Syekh Ahmad al-Khatib al-Minangkabawi (w. 1337 H.), Syekh Umar al-Sumbawi, Syekh Mahfuzh al-Termasi (w. 1338 H.), Syekh Sa’id al-Yamani (w. 1352 H), Syekh Shaleh Bafadhal, Syekh Umar Syatta al-Bakri al-Dimyathi (w. 1331 H.), Syekh Muhammad Ali al-Maliki (w. 1367 H.) dan lain-lain.
Ilmu yang dipelajarinya pun bermacam-macam, mulai dari nahwu, shorof, balaghah (ma‘ani, bayan dan badi‘), fikih, ushul fikih, hadits, mustholah hadits, tafsir, mantiq (logika), fara’idh, hingga ke ilmu falak (astronomi). Dalam bidang tasawuf, guru Marzuki memperoleh ijazah untuk menyebarkan tarekat al-‘Alawiyah dari Syekh Umar Syatta al-Bakri al-Dimyathi (w. 1331 H.) yang memperoleh silsilah sanad tarekatnya dari Syekh Ahmad Zaini Dahlan (w. 1304 H/1886 M.), Mufti Syafi’iyyah di Mekah al-Mukarramah.
Dalam disertasi doktoralnya di Fak. Darul Ulum, Cairo University (hal. 63 – 66), Daud Rasyid memasukkan Guru Marzuki sebagai salah seorang pakar hadits Indonesia yang sangat berjasa dalam penyebaran hadits-hadits nabi di Indonesia dan menjaga transmisi periwayatan sanadnya.
Sistem Mengajar dan Para Muridnya
Sesudah kembali ke tanah air, atas permintaan Sayid Usman Banahsan, Guru Marzuki mengajar di masjid Rawabangke selama lima tahun, sebelum pindah dan menetap di Cipinang Muara. Di sinilah ia merintis berdirinya pesantren di tanah miliknya yang cukup luas. Santri yang mondok di sini memang tidak banyak, ditaksir sekitar 50 orang dan terutama datang dari wilayah utara dan timur Jakarta (termasuk Bekasi).
Cara mengajar Guru Marzuki kepada muridnya tidak lazim di masa itu, yaitu sambil berjalan di kebun dan berburu bajing (tupai). Ke mana sang guru melangkah, ke sana pula para murid mengikutinya dalam formasi berkelompok. Setiap kelompok murid biasanya terdiri dari empat atau lima orang yang belajar kitab yang sama, satu orang di antaranya bertindak sebagai juru baca. Sang guru akan menjelaskan bacaan murid sambil berjalan. Setiap satu kelompok selesai belajar, kelompok lain yang belajar kitab lain lagi menyusul di belakang dan melakukan hal yang sama seperti kelompok sebelumnya.
Mengajar dengan cara duduk hanya dilakukan oleh Guru Marzuki untuk konsumsi masyarakat umum di masjid. Meskipun demikian, anak-anak santrinya secara bergiliran membacakan sebagian isi kitab untuk sang guru yang memberi penjelasan atas bacaan muridnya itu. Para juru baca itu kelak tumbuh menjadi ulama terpandang di kalangan masyarakat Betawi dan sebagian mereka membangun lembaga pendidikan yang tetap eksis sampai sekarang, seperti KH. Noer Alie (pendiri Pesantren Attaqwa, Bekasi), KH. Mukhtar Thabrani (pendiri Pesantren An-Nur, Bekasi), KH. Abdul malik (putra Guru Marzuki), KH. Zayadi (pendiri Perguruan Islam Az-Ziyadah, Klender), KH. Abdullah Syafi’i (pendiri Pesantren Asy-Syafi’iyyah, Jatiwaringin), KH. Ali Syibromalisi (pendiri Perguruan Islam Darussa’adah dan mantan ketua Yayasan Baitul Mughni, Kuningan-Jakarta), KH. Abdul Jalil (tokoh ulama dari Tambun, Bekasi), KH. Aspas (tokoh ulama dari Malaka, Cilincing), KH. Mursyidi dan KH. Hasbiyallah (pendiri perguruan Islam al-Falah, Klender), dan ulama-ulama lainnya. Selain KH. Abdul Malik (Guru Malik), putera-putera Guru marzuki yang lain juga menjadi tokoh-tokoh ulama, seperti KH. Moh. Baqir (Rawabangke), KH. Abdul Mu’thi (Buaran, Bekasi), KH. Abdul Ghofur (Jatibening, Bekasi).
Guru Marzuki dan Jaringan Ulama Betawi
Dalam kajian Abdul Aziz, MA., peneliti Litbang Depag dan LP3ES, Guru Marzuki termasuk eksponen dalam jaringan ulama Betawi yang sangat menonjol di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 bersama lima tokoh ulama Betawi lainnya, yaitu: KH. Moh. Mansur (Guru mansur) dari Jembatan Lima , KH. Abdul majid (Guru Majid) dari Pekojan , KH. Ahmad Khalid (Guru Khalid) dari Gongangdia , KH. Mahmud Romli (Guru mahmud) dari Menteng , dan KH. Abdul Mughni (Guru Mughni) dari Kuningan-Jakarta Selatan .
Guru Marzuki beserta kelima ulama terkemuka Betawi yang hidup sezaman ini memang berhasil melebarkan pengaruh keulamaan dan intelektualitas mereka yang menjangkau hampir seluruh wilayah Batavia (Jakarta dan sekitarnya). Jaringan keulamaan yang dikembangkan oleh “enam pendekar-ulama Betawi” hasil gemblengan ulama haramain inilah yang kelak menjadi salah satu pilar kekekuatan mereka sebagai kelompok ulama yang diakui masyarakat dan telah berjasa menelurkan para ulama terkemuka Betawi selanjutnya.
Wafatnya
Guru Marzuki —rahimahullah wa ardhahu— wafat pada hari Jumat, 25 Rajab 1353 H. Pemakaman beliau dihadiri oleh ribuan orang, baik dari kalangan Habaib, Ulama dan masyarakat Betawi pada umumnya, dengan shalat jenazah yang diimami oleh Habib Sayyid Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (w. 1388/1968) .
Di masa hidupnya, Guru Marzuki dikenal sebagai seorang ulama yang dermawan, tawadhu’, dan menghormati para ulama dan habaib. Beliau juga dikenal sebagai seorang sufi, da’i dan pendidik yang sangat mencintai ilmu dan peduli pada pemberdayaan masyarakat lemah; hari-hari beliau tidak lepas dari mengajar, berdakwah, mengkaji kitab-kitab dan berzikir kepada Allah swt. Salah satu biografi beliau ditulis oleh salah seorang puteranya, KH. Muhammad Baqir, dengan judul Fath Rabbil-Bâqî fî Manâqib al-Syaikh Ahmad al-Marzûqî.

Wednesday, March 31, 2010



SEJARAH JATINEGARA

VIVAnews - Setiap hari, hiruk pikuk pembeli dan lalu lalang kendaraan mewarnai jalan raya Jatinegara yang berada di timur Jakarta ini. Aktivitas perdaganganpun membuat Jatinegara yang akrab disebut Mester ini terlihat lebih hidup.

Ini tidak terlepas dari sejarah Jatinegara yang sejak zaman Belanda memang dikenal sebagai salah satu pusat perdagangan di Batavia. Tetapi banyak yang tidak tahu bahwa daerah ini sebelumnya merupakan tempat pelarian pangeran Jayakarta setelah kota Jayakarta direbut oleh tentara Belanda.

Awalnya, Jatinegara merupakan hutan belukar yang banyak ditumbuhi pohon jati. Di tempat inilah Pangeran Jayakarta melarikan diri dari kota Jayakarta pada tanggal 30 Mei 1619 setelah dikalahkan oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen.

Lalu Pangeran Jayakarta membuka hutan untuk dijadikan sebagai tempat pemerintahan dalam pengasingan dengan dibantu pengikutnya yang tersisa. Pada saat itu, daerah ini memang belum menjadi bagian dari kota Jayakarta.

Mengenai penggunaan nama Jatinegara di wilayah ini terdapat perbedaan pendapat. Satu pendapat mengatakan bahwa nama Jatinegara diberikan oleh Pangeran Jayakarta saat mengungsi di daerah ini.

Nama JHatinegara berarti negara yang sejati. Dengan nama ini, Pangeran jayakarta berusaha membuktikan bahwa pemerintahannya masih berjalan walaupun kota Jayakarta telah direbut oleh Belanda dan diubah menjadi nama Batavia.

Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa nama Jatinegara diambil karena pada zaman Belanda, wilayah ini merupakan hutan jati yang sangat rimbun. “Dinamakan Jatinegara karena dulu menurut kakek saya di sini ini penuh pohon Jati, kemudian dibuka oleh Mester (Cornelis)” ujar seorang warga Jatinegara, Sunarya, 50 tahun.

Walau perlawanan sering dilakukan, namun pasukan tentara Belanda yang semakin kuat membuat Pangeran Jayakarta tidak memiliki kesempatan untuk merebut kembali kota Jayakarta. “Dari Jatinegara, pangeran dan pangikutnya bergerilya membuat Batavia tidak pernah aman selama 80 tahun” tulis Sejarawan Betawi, Alwi Shahab.

Pangeran Jayakarta pun menetap di daerah ini dalam waktu yang lama. Lama kelamaan, keturunan Pengeran Jayakarta dan pengikutnya mulai beranak pinak di daerah ini hingga membentuk perkampungan keluarga bernama kampung Jatinegara Kaum.

Pada saat itu, daerah Jartinegara hanya dihuni oleh keturunan keluarga pangeran Jayakarta dan pengikutnya saja. Dalam perkembangan selanjutnya wilayah Jatinegara pun mulai meluas dan dihuni oleh warga di luar keturunan Pangeran Jayakarta.

Momentum perkembangan kota Jatinegara menjadi kota perdagangan terjadi pada tahun 1661, ketika seorang guru agama Kristen yang berasal dari Banda, Maluku, Meester Cornelis van Senen membeli sebidang tanah di Jatinegara yang berada di sekitar aliran sungai Ciliwung.

Tanah yang dimiliki oleh Cornelis van Senen lambat laun berkembang menjadi pemukiman dan pusat perdagangan yang ramai. Sosok Meester Cornelis yang terkenal sebagai guru agama membuat masyarakat pun seringkali menyebut wilayah ini dengan nama Meester Cornelis atau Mester.


Pada 6 April 1875 silam, sarana transportasi pendukung mulai dibangun di wilayah ini dengan diresmikannya jalur kereta yang menghubungkan Jatinegara dengan Jakarta Kota. Di tahun 1881, trem uap penghubung Kampung Melayu (Meester Cornelis) dengan Kota Intan (Batavia) pun mulai beroperasi.

Jatinegara juga menjadi salah satu kota yang dilewati jalur Anyer-panarukan yang dibangun Daendels untuk pengembangan perekonomian pulau Jawa. Pada abad ke-19, Meester Cornelis pun menjadi kota satelit Batavia yang terkemuka.

Sehingga 1 Januari 1936, pemerintah Belanda memasukkan wilayah Jatinegara ke dalam bagian kota Batavia.

Kisah panjang yang dimiliki Jatinegara masih terlihat dari sejumlah peninggalan sejarah yang tersisa. Diantaranya adalah masjid kuno dan makam Pangeran Jayakarta Wijayakrama yang terletak di Jalan Raya Jatinegara Kaum, di tepi timur sungai Sunter.

Komplek makam yang terdiri dari makam Pangeran Jayakarta dan keluarga pangeran yang terletak di sebelah barat daya masjid. Sedangkan, gedung bersejarah peninggalan Belanda adalah Gedung Wedana Meester Cornelis yang terletak depan Stasiun Jatinegara.

Di gedung bergaya Eropa inilah pemerintahan Jatinegara dipusatkan. Selain itu juga, bangunan ini digunakan untuk tempat tinggal Meester Cornelis.